Berita

Di Komisi II DPR RI, Gubernur Zainal sampaikan realita tantangan pembangunan dan kehidupan perbatasan

BIRO ADPIM – Gubernur Kalimantan Utara (Kaltara), Dr. H. Zainal A Paliwang, SH.,M.Hum., menyampaikan realita pembangunan dan kehidupan di wilayah perbatasan provinsi ini.

Senin (28/4/2025), dalam pertemuan dengan Komisi II DPR RI dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), di tengah forum gubernur seluruh Indonesia, ia melukiskan kondisi infrastruktur jalan perbatasan yang perlu penanganan serius Pemerintah dan Daerah.

“Saya pernah menempuh 60 kilometer itu butuh waktu enam jam. Dibandingkan Jakarta-Bogor itu tidak sampai satu jam,” ujarnya menyampaikan fakta perbandingan infrastruktur yang mencolok.

Namun, ironi itu hanyalah permulaan dari serangkaian kesulitan yang dihadapi masyarakat Kaltara, terutama di wilayah perbatasan.

Kenangan pahit melintas di benaknya saat menceritakan perjalanannya dari Malinau ke Krayan Induk, Kabupaten Nunukan, pada 2023.

“Tiga hari dua malam kami tempuh. Menginap di pinggir jalan, mobil kami diderek dengan ekskavator. Karena sulit lewat ketika hujan,” ungkapnya.

Kondisi jalan yang memprihatinkan diperparah dengan banyaknya jembatan putus, memaksa masyarakat membangun jembatan darurat dari pohon kayu demi mendapatkan pasokan sembako.

Di tengah keterbatasan infrastruktur, Pemprov Kaltara memberikan subsidi orang dan barang kepada masyarakat di perbatasan.

“Setiap tahun kami anggarkan Rp15 miliar,” jelas Gubernur Zainal.

Namun, efisiensi anggaran tahun ini mengancam keberlanjutan bantuan tersebut.

Sorotan tajam juga diarahkan pada pembangunan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Long Nawang di Malinau yang dibangun Pusat, terpaksa menggunakan material dari negara tetangga, Malaysia.

“Terus terang menggunakan material dari Malaysia,” katanya.

Lebih jauh ke pedalaman Krayan, sebuah fakta juga diungkapkan.

“Kalau anggota Komisi II ke sana, mobil-mobil di sana tidak ada berplat nomor Indonesia. Semua berplat nomor Malaysia,” ujar Gubernur Zainal.

Hal ini mendorong pihaknya menghadap Dirjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu dan Dirjen Bea Cukai, mengusulkan perlakuan khusus seperti Batam terkait status kendaraan berpelat (nomor polisi) Malaysia, terutama jika akses darat nantinya sudah memadai.

Harga kebutuhan pokok pun ikut menjadi perhatian. “Di Krayan, sama dengan saudara kita di Papua, harga satu sak semen itu Rp900 ribu,” ungkapnya, menggambarkan betapa mahalnya biaya hidup di wilayah terpencil.

Ketergantungan pada Malaysia bukan hanya soal material bangunan dan kendaraan. “Untung mereka masih NKRI, tetapi perutnya Malaysia. Kita ini negara besar, tetapi kita malu semua ketergantungan semua dari Malaysia. Tapi mau diapa? Memang kondisi keuangan kita yang belum mampu menjangkau,” tuturnya.

Harapan perubahan mulai tumbuh dengan adanya diskusi bersama Gubernur Kalimantan Timur terkait pembangunan jalan sepanjang kurang lebih 140 kilometer.

“Itu sudah dianggarkan oleh Pemprov Kaltim. Dan kami akan bangun sepanjang 24 kilometer dari 140 kilometer itu. Kita juga akan bekerja keras. Sehingga sembako itu bukan datang dari Serawak. Mudah-mudahan sembako itu dibawa dari Samarinda,” harapnya.

Tantangan lain menghadang, termasuk implementasi program BBM Satu Harga yang belum merata. “Oke kalau di Krayan masih ada. Tetapi di daerah Apau Kayan itu luar biasa harganya. Gas melon (kemasan 3 kilogram) tidak akan ditemukan di sana,” jelasnya.

Gubernur Zainal meyakini bahwa terbukanya akses darat akan membawa perubahan signifikan bagi kesejahteraan masyarakat perbatasan. Sayangnya, target penyelesaian jalur Malinau-Krayan pada tahun 2024 belum tercapai.

Tantangan juga datang dari penurunan drastis Dana Transfer ke Daerah (TKD). Ia menyebut, dana Transfer ke Daerah (TKD) 2024 Rp2,4 triliun. Tahun 2025 hanya menjadi Rp469 miliar.

“Kita tidak bisa membangun banyak (dengan jumlah anggaran tersebut). Kaltara ini adalah perbatasan, wajah perbatasan Indonesia. Kalau kita berdiri di Sebatik menghadap Tawau itu menyala luar biasa. Kalau kami berdiri di Tawau, melihat Sebatik itu gelap gulita,” ungkapnya.

Tak hanya infrastruktur dan ekonomi, sektor kesehatan pun menjadi perhatian. Dengan adanya fakultas kedokteran di Universitas Borneo, harapan muncul untuk mencetak dokter spesialis lokal yang betah mengabdi di Kaltara. Pemprov Kaltara sendiri telah menjalankan program Dokter Terbang untuk menjangkau masyarakat di pedalaman.

Kisah yang disampaikan Gubernur Zainal A Paliwang cerminan nyata tantangan pembangunan di wilayah perbatasan Indonesia. Di balik gemerlap ibu kota, tersembunyi perjuangan panjang masyarakat yang mendambakan kesejahteraan dan kedaulatan yang sesungguhnya.

Pertemuan ini menjadi pengingat bahwa perhatian dan tindakan nyata dari Pemerintah Pusat sangat dibutuhkan untuk menerangi “kegelapan” di tapal batas negeri. BIRO ADPIM